Jumat, 22 April 2011

TRAVELLING


Pada tanggal 26 Maret 2011 aku dan orang tuaku travelling ke kota lain yaitu garut, kita berencana untuk pergi ke pemandian air panas dan juga candi cangkuang. Setelah sampai di Candi Cangkuang, kami harus menyebrangi danau dengan memakai perahu rakit.
ada sesuatu yang menarik dari perahu rakit ini, perahu ini didayung memakai tongkat panjang sebagai alat untuk memajukan perahu tersebut, dan juga 1 orang pendayung saja. harga sewa perahu ini berkisar 20rb. Para pendayung tidak hanya orang dewasa saja tetapi ada juga anak kecil yang mendayung perahu rakit ini,

Setelah menyebrangi danau kami disambut dengan tulisan selamat datang di Candi Cangkuang
kemudian sebelum kita memasuki wilayah candi cangkuang, ada komplek rumah yang unik, dimana komplek rumah tersebut terdapat 7 bangunan rumah, yang terdiri dari 1 masjid dan juga 6 rumah. ada yang unik dari peraturan komplek rumah ini yaitu ketika penghuni dari rumah-rumah tersebut memiliki anak perempuan, dan anak perempuan tersebut akan menikah dengan pria dari luar komplek tersebut maka perempuan tersebut harus keluar dari kampung tersebut, nah beda lagi ceritanya klo yang punya rumah ini punya anak laki-laki, klo anak laki-laki mau nikah sama perempuan dari luar komplek atau kampung, maka si laki-laki ini gak boleh pergi dari kampung ini, akan tetapi dia memboyong istrianya untuk tinggal fi komplek rumah tersebut. setelahs saya menanyakan kenapa aturan di komplek perumahan tersebut bisa seperti itu, seorang penjaga komplek mengatakan "Jika orang-orang bertambah di komplek tersebut maka tidak akan ada 7 rumah melainkan lebih dari 7 rumah, meraka masih mempertahankan adat istiadat dimana aturan komplek tersebut harus ada 7 bangunana saja tidak boleh bertambah". nah itulah alasan mengapa komplek perumahan ini hanya berjumlah 7 bangunan saja. sejrah unik lainya yaitu komplek perumahan ini ternyata sudah 9 generasi,penghuni komplek perumahan tersebut adalah anak anak atau keturunan dari Arif Muhammad, sang penjaga Candi Cangkuang. Arif Muhammad memiliki 1 anak laki laki, dan 6 anak perempuan. nah mungkin karena Alm. Arif Muhammad memiliki 7 anak, maka dibangunanlah komplek perumahan untuk tempat tinggal anak-anaknya tersebut.




Setelah kita selesai membahas tentang komplek perumahanan Rumah Adat Pulo, kita lanjutkan pembahasan mengenai Candi Cangkuang. Candi cangkuang ini adalah sebuah candi Hindu yang terdapat di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Candi inilah juga yang pertama kali ditemukan di Tatar Sunda serta merupakan satu-satunya candi Hindu di Tatar Sunda.

Sejarah Candi Cangkuang

Candi ini pertama kali ditemukan pada tahun 1966 oleh tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita berdasarkan laporan Vorderman (terbit tahun 1893) mengenai adanya sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arif Muhammad di Leles. Selain menemukan reruntuhan candi, terdapat pula serpihan pisau serta batu-batu besar yang diperkirakan merupakan peninggalan zaman megalitikum. Penelitian selanjutnya (tahun 1967 dan 1968) berhasil menggali bangunan makam.

Walaupun hampir bisa dipastikan bahwa candi ini merupakan peninggalan agama Hindu (kira-kira abad ke-8 M, satu zaman dengan candi-candi di situs Batujaya dan Cibuaya?), yang mengherankan adalah adanya pemakaman Islam di sampingnya.




Geografis

Candi Cangkuang terdapat di sebuah pulau kecil yang bentuknya memanjang dari barat ke timur dengan luas 16,5 ha. Pulau kecil ini terdapat di tengah danau Cangkuang pada koordinat 106°54'36,79" Bujur Timur dan 7°06'09" Lintang Selatan. Selain pulau yang memiliki candi, di danau ini terdapat pula dua pulau lainnya dengan ukuran yang lebih kecil.

Lokasi danau Cangkuang ini topografinya terdapat pada satu lembah yang subur kira-kira 600-an m l.b.l. yang dikelilingi pegunungan: Gunung Haruman (1.218 m l.b.l.) di sebelah timur - utara, Pasir Kadaleman (681 m l.b.l.) di timur selatan, Pasir Gadung (1.841 m l.b.l.) di sebelah selatan, Gunung Guntur (2.849 m l.b.l.) di sebelah barat-selatan, Gunung Malang (1.329 m l.b.l.) di sebelah barat, Gunung Mandalawangi di sebelah barat-utara, serta Gunung Kaledong (1.249 m l.b.l.) di sebelah utara.


Bangunan Candi Cangkuang
Bangunan Candi Cangkuang yang sekarang dapat kita saksikan merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Candi ini berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan yang menyokong pelipit padma, pelipit kumuda, dan pelipit pasagi ukurannya 4,5 x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Di sisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lébar 1,26 m.

Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 x 4,22 m dengan tinggi 2,49 m. Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran 1,56 m (tinggi) x 0,6 m (lebar). Puncak candi ada dua tingkat: persegi empat berukuran 3,8 x 3,8 m dengan tinggi 1,56 m dan 2,74 x 2,74 m yang tingginya 1,1 m. Di dalamnya terdapat ruangan berukuran 2,18 x 2,24 m yang tingginya 2,55 m. Di dasarnya terdapat cekungan berukuran 0,4 x 0,4 m yang dalamnya 7 m (dibangun ketika pemugaran supaya bangunan menjadi stabil).

Di antara sisa-sisa bangunan candi, ditemukan juga arca (tahun 1800-an) dengan posisi sedang bersila di atas padmasana ganda. Kaki kiri menyilang datar yang alasnya menghadap ke sebelah dalam paha kanan. Kaki kanan menghadap ke bawah beralaskan lapik. Di depan kaki kiri terdapat kepala sapi (nandi) yang telinganya mengarah ke depan. Dengan adanya kepala nandi ini, para ahli menganggap bahwa ini adalah arca Siwa. Kedua tangannya menengadah di atas paha. Pada tubuhnya terdapat penghias perut, penghias dada dan penghias telinga.

Keadaan arca ini sudah rusak, wajahnya datar, bagian tangan hingga kedua pergelangannya telah hilang. Lebar wajah 8 cm, lebar pundak 18 cm, lebar pinggang 9 cm, padmasana 38 cm (tingginya 14 cm), lapik 37 cm & 45 cm (tinggi 6 cm dan 19 cm), tinggi 41 cm.

Candi Cangkuang sebagaimana terlihat sekarang ini, sesungguhnya adalah hasil rekayasa rekonstruksi, sebab bangunan aslinya hanyalah 35%-an. Oleh sebab itu, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang sebenarnya belumlah diketahui.

Candi ini berjarak sekitar 3 m di sebelah selatan makam Arif Muhammad.

Sejarah Pemyebaran Agama Islam di Desa Cangkuang

Embah Dalem Arief Muhammad serta masyarakat setempat yang telah membendung daerah ini, sehingga terbentuk sebuah danau dengan nama Situ Cangkuang. Setelah daerah ini selesai dibendung, maka dataran yang rendah menjadi danau, dan bukit-bukit menjadi pulau-pulau. Pulau tersebut antara lain Pulau Panjang (dimana kampung pulo ada), Pulau Gede, Pulau Leutik (kecil), Pulau Wedus, Pulau Katanda, dan Pulau Masigit. Embah Dalem Arief Muhammad berasal dari Kerajaan Mataram, Jawa Timur. Ia dan pasukannya datang dengan tujuan untuk menyerang tentara VOC di Batavia dan menyebarkan agama Islam di Desa Cangkuang.

Desa Cangkuang, khususnya Kampung Pulo, waktu itu sudah dihuni oleh penduduk yang menganut agama Hindu. Hal itu terbukti dari adanya candi Hindu yang sekarang telah dipugar. Metode dakwah yang dilakukan Arief Muhammad tidak jauh dari pola dakwah Wali Songo. Secara bijaksana Embah Dalem Arief Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk menganut Islam.

Pedoman dakwah yang diajarkan oleh Arief Muhammad berprinsip pada ajaran Islam yang tidak mengenal kekerasan dan paksaan, melainkan dengan perdamaian dan keikhlasan hati. Ajaran-ajaran yang disampaikan dan ditulis Arief Muhammad dalam naskah-naskah tidak berbeda dengan apa yang kita dapatkan dari para ulama sekarang ini. Dengan mengacu pada Al-Qur’an dan Hadits, beliau mengajarkan berbagai hal untuk menghadapi segala kehidupan membentuk pribadi umat menjadi muslim yang sejati dengan mentauhidkan Allah SWT, berakhlak baik, dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.

Adapun hal-hal yang membuktikan adanya penyebaran Islam yang dilakukan pada permulaan abad XVII, antara lain :

  1. Naskah Khotbah Jum’at yang terbuat dari kulit kambing dengan memiliki ukuran 176 X 23 cm. Walaupun terlihat agak sedikit rusak, namun tulisan dalam naskah tersebut masih terbaca jelas.
  2. Kitab Suci Al Qur’an yang terbuat dari kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 33 X 24 cm. Karena sudah dimakan usia, kondisi kitab ini terlihat sobek. Walau demikian kitab Al Qur’an ini masih bisa dibaca dengan jelas.
  3. Kitab Ilmu Fikih yang terbuat dari bahan kulit kayu (saih) dengan memiliki ukuran 26 X 18,5 cm.
  4. Makam Embah Dalem Arief Muhammad yang berada disebelah selatan Candi Cangkuang. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kerukunan hidup beragama di Nusantara sudah terbina sejak ratusan tahun yang lalu

Para penduduk Kampung Pulo berangsur-angsur menganut agama Islam, tapi sebagian kepercayaan lamanya masih mereka laksanakan. Sebagai contoh, hari Rabu menjadi hari besar bagi mereka, dan bukan hari Jum’at.

Candi ini merupakan peradaban Hindu-Budha dan masuknya Agama Islam Sehinga banyak ditemukan bukti sejarah seperti Al-qur'an yang ditulisa di pelepah daun pisang



Nah dengan adanya peradaban Hindu-Budha dan Juga Islam, maka terciptalah keberagaman Agama di Indonesia. Semoga sejarah perjalanan Bangsa Indonesia ini bisa menambah kecintaan kita terhadap sejarah dan juga Bangsa Indonesia. Soekarno mengatakan "JAS MERAH - Jangan Melupakan Sejarah"



Tidak ada komentar:

Posting Komentar